TANTANGAN PENDIDIKAN ISLAM DI INDONESIA

Pendidikan Agama Islam di Indonesia yang telah berlangsung semenjak datangnya Islam ke Indonesia sampai saat ini menampilkan kondisi yang bervariatif. Perihal ini terjalin sebab tantangan serta kesempatan yang dialami pendidikan Islam tersebut hadapi perbandingan antara satu masa dengan masa yang lain. 

Tantangan serta kesempatan pendidikan Islam pada masa dini kehadiran Islam, berkisar antara lain pada upaya mengalami kuatnya pengaruh agama Hindu yang tiba tadinya ke Indonesia, agama lokal( animisme, dinamisme serta politisme), raja- raja Hindu, dan corak ajaran Islam yang tradisional. Tantangan yang demikian itu menimbulkan para muballigh/ pendidik melaksanakan peng- Islaman secara bertahap serta menempuh jalur damai, spesialnya dalam menglslamkan warga daerah Indonesia bagian pedalaman. 

Bermacam saluran buat menglslamkan warga semacam perdagangan, pernikahan, tasawuf, pendidikan, kesenian serta politik digunakan. Lewat saluran politik misalnya, umat Islam sukses menumbangkan kerajaan- kerajaan Hindu serta menggantikannya dengan kerajaan- kerajaan Islam, semacam Kerajaan Samudera Pasai( abad ke- 13 M), 

  • Kerajaan Islam Aceh Darussalam( abad ke- 15 M.), 
  • Kerajaan Islam Demak( abad ke- 16 M.), 
  • Kerajaan Islam Pajang( selaku pelanjut kerajaan Demak), 
  • Kerajaan Islam Mataram( abad ke- 16 M), 
  • Kerajaan Islam Cirebon( abad ke- 16 M.) 
  • Kesultanan Banten( abad ke- 16 M.) 
  • serta Kerajaan Islam Banjar di Kalimantan Selatan( abad ke- 16 M.) 

Mengalami tantangan sisa- sisa faham agama Hindu serta faham agama lokal, pendidikan Islam terpaksa berlagak akomodatif serta bertahap. Akibat dari pendekatan yang demikian itu, hingga corak ajaran Islam yang terdapat di Indonesia pada waktu itu menunjukkan corak Islam santri, abangan serta priyayi, walaupun secara konseptual tidak senantiasa sahih buat menarangkan kehidupan agama serta budaya warga Jawa. 

Setelah itu buat mengalami tantangan corak ajaran Islam yang tradisional, pendidikan Islam tanpaknya tidak merasakannya selaku beban. Sebab dunia Islam pada waktu itu terletak dalam atmosfer taklid ialah menjajaki saja apa yang dikemukakan para ulama terdahulu. Tidak hanya itu Islam yang diajarkan bercorak fiqih serta tasawuf- pun nyatanya tidak jadi hambatan, sebab warga di Indonesia pada waktu itu masih bercorak agraris serta belum tersentuh pengaruh modernisasi. 

Dalam kondisi demikian seperti itu hingga penerapan pendidikan Islam dalam bermacam aspeknya dicoba secara tradisional. Tujuan pendidikan Islam pada waktu itu cuma ditunjukan pada upaya menciptakan ulama pakar agama Islam, tata cara pengajaran bertabiat hafalan serta berpusat pada perintah guru, manajemen pengelolaannya bertabiat kekeluargaan, kurikulumnya bermuatan mata pelajaran agama, buku- buku yang digunakan karangan ulama lokal, serta lembaga- lembaga pendidikan yang digunakanpun masih simpel semacam mesjid, langgar, tajug, surau, meunasah, rangkang serta rumah guru ngaji. 

Tantangan pendidikan Islam pada masa penjajahan Belanda timbul selaku akibat dari kebijakan pemerintah Belanda yang mempraktikkan pendidikan yang bertabiat diskriminatif yang didasarkan pada ras serta agama, dikhotomis, sekularistis serta menghasilkan mental budak. Diskriminasi pendidikan Belanda itu nampak jelas pada klasifikasi sekolah- sekolah yang didirikannya. 

Pada tingkatan bawah pemerintah Belanda membuka sekolah yang dibedakan bagi ras serta generasi, semacam sekolah buat orang Eropa( Europeesce Legere School), buat orang generasi Tiongkok serta Asia Timur( Hollandsc Chinese School), buat orang- orang Bumiputera dari golongan ningrat( Hollandsch Inlandsche School), serta sekolah buat orang pribumi pada biasanya( Inlandsche School). Diskriminasi pula nampak pada perbandingan kualitas pendidikan yang diberikan kepada orang pribumi pada biasanya. 

Ki Hajar Dewantara misalnya berkata kalau pengajaran pada era itu tidak bisa membagikan kepuasan pada rakyat kita. Pengajaran Gubernemen yang seolah- olah dijadikan contoh serta biasanya dikira selaku usaha buat menjunjung derajat kita, nyatanya tidak bisa membagikan kehidupan pada kita. 

Pada dikala itu nasib kita sekedar cuma buat berikan khasiat kepada bangsa lain. 

Penyelenggaraan pendidikan yang diskriminatif serta mengganggu mental warga itu pula nampak pada perilaku pemerintah Belanda yang tidak membagikan atensi kepada warga Islam sama sekali. Perihal ini pada gilirannya memunculkan persoalan dari golongan penyelenggara pendidikan agama di pesantren. 

Buat ini pemerintah Belanda berargumentasi dengan dalih buat melindungi netralitas pendidikan dari pengaruh agama apapun sebagaimana secara resmi tertuang dalam Konstitusi Belanda tahun 1855 serta Peraturan Pemerintah Hindia Belanda tahun 1871. Hendak namun klaim tersebut dusta belaka, sebab pada dikala yang sama pemerintah Belanda membangun sekolah besar Kristen. 

Di samping itu, pada tahun 1905 pemerintah menghasilkan Staatsblad Nomor. 550 yang diucap Ordonansi Guru Agama yang pada intinya menghalangi jumlah guru agama yang beragama Islam dengan mewajibkan mereka memperoleh ijazah dari pemerintah lewat Bupati( untuk mereka yang tinggal di Jawa serta Madura) ataupun lewat pejabat pemerintah yang lain( untuk mereka yang tinggal di daerah- daerah lain). 

Di samping itu, peraturan baru tersebut mewajibkan siswa dari luar wilayah buat memberi tahu bukti diri mereka kepada Bupati saat sebelum mereka mengawali program studinya. Ordonansi guru ini dinilai umat Islam selaku kebijakan yang tidak hanya menghalangi pertumbuhan pendidikan Islam saja, namun sekalian menghapus kedudukan berarti Islam di Indonesia. 

Corak dikhotomis pendidikan Belanda nampak pada kebijakan yang memisahkan pendidikan agama dengan pendidikan universal. Pendidikan agama diselenggarakan di pesantren- pesantren yang dikelola oleh umat Islam. Sebaliknya pendidikan universal dikelola oleh pemerintah Belanda. Pendidikan universal yang dikelola pemerintah Belanda itu bertabiat sekularistis. 

Pemerintah Belanda lewat lembaga pendidikan yang diciptakannya berupaya mengabaikan nilai- nilai serta adat istiadat lokal, serta mengubahnya dengan adat- istiadat Eropa yang sekularistik. Usul C. Snouck Hurgronye buat mengubah hari Jumat dengan hari Pekan selaku hari libur sekolah misalnya, ialah salah satu contoh dari upaya semacam itu. Upaya westernisasi serta sekularisasi yang dicoba pemerintah Belanda terhadap bangsa Indonesia pula nampak pada pendidikan yang diberikan kepada golongan bangsawan. 

Snouck Hurgronye mendambakan kesatuan Indonesia dengan Belanda dalam sesuatu jalinan yang diucap Pax Neederlandica. Oleh sebab itu, dalam lembaga pendidikan Belanda tersebut, bangsa Indonesia wajib dituntun buat bisa bersosialisasi dengan kebudayaan Belanda. Tetapi gagasan Pax Neederlandica ini tidak tercapai, apalagi malah lulusan- lulusannya jadi orang- orang yang sangat gigih memperjuangkan kemerdekaan.

Setelah itu missi pendidikan Belanda yang diperuntukan buat membentuk mental budak antara lain nampak dari missi pendidikan yang diformulasikan, ialah menciptakan 

  • orang- orang yang tidak memiliki jiwa merdeka, 
  • orang- orang yang sudah mulai menampilkan sifat- sifat individualistis serta kehabisan perasaan kemasyarakatan serta kekeluargaannya; 
  • orang- orang yang memiliki pengetahuan tanpa diiringi kecakapan- kecakapan instan serta perilaku susila; 
  • orang- orang yang memiliki perilaku pasif pada biasanya serta tidak mempunyai inisiatif serta menyerah pada kondisi.

Selaku akibat dari kebijakan ini, hingga timbulah perilaku verbalisme serta intelektualisme, cuma mementingkan bahan pelajaran belaka, tidak melatih anak berfikir lewat analisa serta sintesa sehingga mereka jadi tidak kritis serta tidak kreatif. Dalam mengalami tantangan yang demikian itu di golongan umat Islam mencuat 3 kelompok selaku berikut: 

  1. Kelompok yang mengisolasi diri serta menentang kebijakan pemerintah Belanda, sembari terus mengobarkan semangat anti penjajah serta mengusirnya melalui konsep Perang Suci( Jihad fi Sabilillah) dengan menjadikan pesantren selaku basisnya serta pengajaran agama Islam selaku dasarnya. Terhadap perilaku yang dicoba golongan Islam tradisional ini, pemerintah Belanda terus menjadi membagikan tekanan serta pengawasan yang ketat. 
  2. Perilaku yang mengimbangi kemajuan yang dicapai oleh pemerintah Belanda dengan metode memodernisasikan lembaga pendidikan tradisional( pesantren spesialnya) jadi madrasah. Modernisasi ini sebagiannya mengambil model pendidikan Belanda, serta sebagiannya dipengaruhi semangat modernisme yang lagi tumbuh di Timur Tengah, spesialnya Mesir. Di Minangkabau pada tahun 1907 misalnya, Abdullah Ahmad mendirikan Madrasah Adabiyah yang ialah transformasi lembaga pendidikan tradisional jadi pendidikan Islam awal di Nusantara. Sebaliknya di Jawa Timur pada tahun 1905 berdiri Madrasah Mambaul Ulum yang mempraktikkan sistem klasikal. 
  3. Perilaku yang mengadopsi seluruhnya model pendidikan Belanda, tetapi di dalamnya masih ada pelajaran agama. Perilaku ini misalnya dicoba oleh Muhammadiyah. Selaku organisasi sosial Islam yang bercorak modern, Muhammadiyah apalagi tidak menyebut lembaga pendidikan yang didirikannya dengan nama madrasah, melainkan dengan nama sekolah sebagaimana halnya sekolah yang didirikan pemerintah Belanda. 

Ketiga corak serta watak lembaga pendidikan Islam tersebut sampai dikala ini nampak masih terdapat. Penjajah Belanda bagaimanapun sudah membuka mata sebagian umat Islam buat memajukan lembaga pendidikannya dalam rangka mengejar keterbelakangannya dalam seluruh bidang lewat pembaruan lembaga pendidikannya. 

Lewat lembaga- lembaga pendidikan Islam yang sudah dimodernisir ini sudah dilahirkan kader intelektual muslim yang tidak hanya memahami agama serta menjiwainya, melainkan pula memahami ilmu pengetahuan modern dan mempunyai semangat nasionalisme serta patriotisme yang jadi modal utama untuk perjuangan kemerdekaan Republik Indonesia. 

Untuk sebagian golongan umat Islam yang maju, tantangan yang ditemukan pada masa pemerintahan Belanda dialami dengan kerja keras serta merubahnya jadi kesempatan yang membolehkan mereka tampak selaku pemimpin bangsa. 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Menjadi Polisi yang Baik: Kiat Membangun Kredibilitas dan Etika Profesi

Cara Mempercepat Kinerja Laptop

Menemukan Keseimbangan Antara Kualitas dan Anggaran: Tips Memilih Cincin Couple yang Sesuai